Selasa, 27 Maret 2012

ASURANSI SYARIAH


ASURANSI SYARIAH
1.      Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi dalam bahasa Arab disebut Atta’min yang berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang. Sedangkan pihak yang menjadi penanggung asuransi disebut mu’amin dan pihak yang menjadi tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang sesuai dengan syariah.
Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1: “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima  premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu  peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran  yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
2.      Dasar Hukum
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu: ”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tentu.”
Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada, tidak dapat dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah.
Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000. Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi berbasis Syariah.
3.      Tujuan Berdirinya Asuransi Syariah
  • Memberikan jaminan perlindungan dari risiko-risiko kerugian yang diderita satu pihak.
  • Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
  • Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tentu dan tidak pasti. 
  • Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
  • Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa. 
  • Menutup Loss of Earning Power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi (bekerja).
  • Memberikan solusi dan pelayanan terbaik dalam perencanaan keuangan dan pengelolah risiko bagi umat, dengan menawarkan jasa takaful dan keuangan syari’ah yang di kelolah secara profesional, adil, tulus , amanah.
  • Menjadi group asuransi terkemuka yang menawarkan jasa takaful dan keuangan syari’ah yang komprehenship dengan jangkauan signifikan di seluruh Indonesia.
4.       Peraturan Hukum Terkait dengan Asuransi
  • UU no. 2 Tahun 1992 Tentang ASURANSI.
 Yang terdiri dari 12 Bab dan 26 Pasal meliputi:
1)      Bab I
            Berisi tentang ketentuan umum yang terdiri dari satu pasal.
2)      Bab II
Berisi tentang usaha perasuransian yang ada pada pasal 2.
3)      Bab III  
Berisi tentang Jenis usaha perasuransian ada apada pasal 3.   
4)      Bab IV   
Berisis tentang Ruang lingkup usaha perasuaransian yang terdiri dari dua pasal yaitu 4 &5.
5)      Bab V  
Berisi tentang penutupan objek asuransi yang ada pada paal 6.   
6)      Bab VI    
Berisi tentang bentuk usaha perasuransian ada pada pasal 7.
7)      Bab VII 
Berisi tentang kepemilikan perusahaan perasuransian yang ada pada pasal 8.
8)      Bab VIII
Berisi tentang perizinan usaha yang ada pada pasal 9.
9)      Bab IX   
Berisis tentang pembinaan dan pengawasan yang ada pada pasal 10-19.
10)  Bab X
Berisi tentang kepailitan dan likuidasi yang ada pada pasal 20.   
11)  Bab XI  
Bersisi tentang ketentuan pidana yang ada pada pasal 21- 24.
12)  Bab XII
Berisi tentang peraturan peralihan yang terdapat pada pasal 25-26.

  • PP No. 63 tahun 1999
Berisi tentang perubahan atas peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan perasuransian.
  • Fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.
  • Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Mudharabah, Musyarakah pada Asuransi Syari’ah.
Menetapkan tentang fatwa akad mudhorobah musytarakah pada asuransi syariah,  Meliputi:
a.       Pertama : Ketentuan Umum.
b.      Kedua : Ketentuan Hukum.
c.       Ketiga : Akad.
d.      Keempat : Kedudukan Para Pihak Pada Akad Mudhorobah Musytarokah.
e.       Kelima : Investasi.
f.       Keenam: Ketentuan Penutup.
  • Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syari’ah.
Menetapkan akad wakalah bil ujroh pada asuransi syariah dan reasuransi syariah,  yang meliiputi:
a.       Pertama : Ketentuan Umum.
b.      Kedua : Ketentuan Hukum.
c.       Ketiga : Akad.
d.      Keempat : kedudukan dan ketentuan para pihak dalam akad wakalah bil ujroh.
e.       Kelima : Investasi.
f.        Keenam: Ketentuan Penutup.

  • Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah.
  • Keptusan MKRI No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
  • Keputusan MKRI No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan, Keuangan, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar