ASURANSI SYARIAH
1.
Pengertian Asuransi Syariah
Asuransi dalam bahasa Arab disebut Atta’min yang
berasal dari kata amanah yang berarti memberikan perlindungan, ketenangan, rasa
aman serta bebas dari rasa takut. Istilah menta’minkan sesuatu berarti
seseorang memberikan uang cicilan agar ia atau orang yang ditunjuk menjadi ahli
warisnya mendapatkan ganti rugi atas hartanya yang hilang. Sedangkan pihak yang
menjadi penanggung asuransi disebut mu’amin dan pihak yang menjadi
tertanggung disebut mu’amman lahu atau musta’min.
Menurut Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) Fatwa DSN No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum
Asuransi Syariah bagian pertama menyebutkan pengertian Asuransi Syariah adalah
usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang atau pihak
melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola
pengembalian untuk mengehadapi resiko tertentu melalui akad atau perikatan yang
sesuai dengan syariah.
Definisi Asuransi menurut Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 tentang usaha perasuransian Bab 1, Pasal 1:
“Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih,
dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan
menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung
karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita
tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau
untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
2.
Dasar Hukum
Dari segi hukum positif, hingga saat ini asuransi
syariah masih mendasarkan legalitasnya pada Undang-undang No. 2 tahun 1992
tentang perasuransian. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang Pasal 246, yaitu:
”Asuransi adalah suatu perjanjian dimana seseorang penanggung mengikatkan
diri kepada seorang tertanggung dengan menerima suatu premi, untuk memberikan
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa
yang tak tentu.”
Pengertian diatas tidak dapat dijadikan landasan hukum
yang kuat bagi Asuransi Syariah karena tidak mengatur keberadaan asuransi
berdasarkan prinsip syariah, serta tidak mengatur teknis pelaksanaan kegiatan
asuransi dalam kaitannya kegiatan administrasinya. Pedoman untuk menjalankan
usaha asuransi syariah terdapat dalam Fatwa Dewan Asuransi Syariah Nasional Majelis
Ulama Indonesia (DSN-MUI) No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi
Syariah, fatwa tersebut dikeluarkan karena regulasi yang ada, tidak dapat
dijadikan pedoman untuk menjalankan kegiatan Asuransi Syariah.
Tetapi fatwa DSN-MUI tersebut tidak memiliki kekuatan
hukum dalam Hukum Nasional karena tidak termasuk dalam peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Agar ketentuan Asuransi Syariah memiliki
kekuatan hukum, maka perlu dibentuk peraturan yang termasuk peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia meskipun dirasa belum memberi
kepastian hukum yang lebih kuat, peraturan tersebut yaitu Keputusan Menteri
Keuangan RI No.426/KMK.06/2003, Keputusan Menteri Keuangan RI No.
424/KMK.06/2003 dan Keputusan Direktorat Jendral Lembaga Keuangan No. 4499/LK/2000.
Semua keputusan tersebut menyebutkan mengenai peraturan sistem asuransi
berbasis Syariah.
3.
Tujuan Berdirinya Asuransi Syariah
- Memberikan jaminan perlindungan dari risiko-risiko kerugian yang diderita satu pihak.
- Meningkatkan efisiensi, karena tidak perlu secara khusus mengadakan pengamanan dan pengawasan untuk memberikan perlindungan yang memakan banyak tenaga, waktu dan biaya.
- Pemerataan biaya, yaitu cukup hanya dengan mengeluarkan biaya yang jumlahnya tertentu dan tidak perlu mengganti/membayar sendiri kerugian yang timbul yang jumlahnya tidak tentu dan tidak pasti.
- Dasar bagi pihak bank untuk memberikan kredit karena bank memerlukan jaminan perlindungan atas agunan yang diberikan oleh peminjam uang.
- Sebagai tabungan, karena jumlah yang dibayar kepada pihak asuransi akan dikembalikan dalam jumlah yang lebih besar. Hal ini khusus berlaku untuk asuransi jiwa.
- Menutup Loss of Earning Power seseorang atau badan usaha pada saat ia tidak dapat berfungsi (bekerja).
- Memberikan solusi dan pelayanan terbaik dalam perencanaan keuangan dan pengelolah risiko bagi umat, dengan menawarkan jasa takaful dan keuangan syari’ah yang di kelolah secara profesional, adil, tulus , amanah.
- Menjadi group asuransi terkemuka yang menawarkan jasa takaful dan keuangan syari’ah yang komprehenship dengan jangkauan signifikan di seluruh Indonesia.
4. Peraturan
Hukum Terkait dengan Asuransi
- UU no. 2 Tahun 1992 Tentang ASURANSI.
Yang terdiri dari 12 Bab dan 26 Pasal
meliputi:
1) Bab I
Berisi tentang ketentuan umum yang
terdiri dari satu pasal.
2) Bab II
Berisi tentang usaha
perasuransian yang ada pada pasal 2.
3) Bab III
Berisi tentang Jenis usaha
perasuransian ada apada pasal 3.
4) Bab IV
Berisis tentang Ruang lingkup
usaha perasuaransian yang terdiri dari dua pasal yaitu 4 &5.
5) Bab V
Berisi tentang penutupan objek
asuransi yang ada pada paal 6.
6) Bab VI
Berisi tentang bentuk usaha
perasuransian ada pada pasal 7.
7) Bab VII
Berisi tentang kepemilikan
perusahaan perasuransian yang ada pada pasal 8.
8) Bab VIII
Berisi tentang perizinan usaha
yang ada pada pasal 9.
9) Bab IX
Berisis tentang pembinaan dan
pengawasan yang ada pada pasal 10-19.
10) Bab X
Berisi tentang kepailitan dan
likuidasi yang ada pada pasal 20.
11) Bab XI
Bersisi tentang ketentuan
pidana yang ada pada pasal 21- 24.
12) Bab XII
Berisi tentang peraturan
peralihan yang terdapat pada pasal 25-26.
- PP No. 63 tahun 1999
Berisi tentang perubahan atas
peraturan pemerintah nomor 73 tahun 1992 tentang penyelenggaraan perasuransian.
- Fatwa DSN-MUI No.21/DSN-MUI/X/2001 tentang Pedoman Umum Asuransi Syari’ah.
- Fatwa No. 51/DSN-MUI/III/2006 tentang akad Mudharabah, Musyarakah pada Asuransi Syari’ah.
Menetapkan tentang fatwa akad mudhorobah
musytarakah pada asuransi syariah,
Meliputi:
a. Pertama : Ketentuan Umum.
b. Kedua : Ketentuan Hukum.
c. Ketiga : Akad.
d. Keempat : Kedudukan Para Pihak Pada Akad Mudhorobah Musytarokah.
e. Kelima : Investasi.
f. Keenam: Ketentuan Penutup.
- Fatwa No. 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi Syari’ah.
Menetapkan akad wakalah bil
ujroh pada asuransi syariah dan reasuransi syariah, yang meliiputi:
a. Pertama : Ketentuan Umum.
b. Kedua : Ketentuan Hukum.
c. Ketiga : Akad.
d. Keempat : kedudukan dan ketentuan para pihak dalam akad wakalah
bil ujroh.
e. Kelima : Investasi.
f.
Keenam: Ketentuan Penutup.
- Fatwa No. 53/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syari’ah.
- Keptusan MKRI No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
- Keputusan MKRI No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan, Keuangan, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar